Welcome to The Family

Sabtu, 29 Juni 2013

Faktor-faktor Penyebab Berpikir Negatif_8

Semangat yang lemah

Pernahkah Anda merasa tidak ingin melakukan sesuatu atau tidak ingin berbicara dengan seseorang? Pernahkah Anda mendengar seseorang berkata, “Hari ini aku tidak punya semangat sama sekali.”

    Sejatinya kondisi semangat yang lemah menimbulkan masalah bagi seseorang, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Ketika seseorang merasa semangatnya melemah, ia mencari pelarian dari keadaan ini. Bisa dengan menonton televisi selama berjam-jam, makan meski tidak lapar, merokok, menenggak minuman keras, atau mengonsumsi narkoba. Kondisi ini bisa menjadi penyebab utama hilangnya berbagai kesempatan dan dapat memicu konflik rumah tangga yang berujung pada perceraian.

    Ciri-ciri orang yang bersemangat lemah: raut wajahnya kusut, konsentrasi negatif, perilakunya negatif, emosional, banyak diam, tertutup, dan suka menyendiri.

    Seorang kawan saya mengeluhkan istrinya yang tidak mau keluar, menolak setiap undangan, dan emosional terhadap dirinya dan anak-anaknya. Kondisi ini membuat mereka hidup diliputi penderitaan.

    Saya meminta kawan itu menceritakan bagaimana sang istri menghabiskan waktunya. Ia berkata, “Dahulu ia terbilang sangat aktif. Ia suka keluar, membaca, dan punya banyak perhatian.tiba-tiba ia menjadi sosok yang sama sekali tidak kukenal. Ia menjadi tidak punya minat pada apa pun. Ia tidak lagi mau menghadiri undangan teman-teman, tidak mau makan malam di luar, bahkan membaca pun ia tinggalkan. Satu-satunya yang ia lakukan adalah pergi ke tempat kerja, pulang, lalu menonton televisi sekian lama. Ia tampak kelelahan hingga ketika berbicara cenderung emosional. Selain itu, ia gampang marah meski hanya sebab-sebab yang remeh.”

    Saya meminta bertemu dengan istrinya. Ketika hal itu ditawarkan kepada istrinya, ia menolak. Seminggu kemudian ia sendiri yang datang menemui saya. Ketika berdiri di hadapan saya, kesan yang muncul adalah ia orang yang tidak memerhatikan penampilan karena merasa berada di dunia lain. Setelah berbasa-basi panjang saya bertanya, “Apa yang Anda lakukan sepanjang hari?” Ia menjawab, “Tidak ada. Aku kehilangan semangat seperti orang sakit. Aku juga tak punya selera makan. Aku sendiri tidak tahu mengapa ini terjadi.”

    Labih lanjut ia berkata, “Padahal hidupku terbilang mapan. Aku bekerja sebagai manajer bidang hubungan masyarakat di sebuah perusahaan obat-obatan berskala internasional. Gajiku lumayan besar. Di antara tugasku adalah memerhatikan para buruh, dan berhubungan dengan top manajemen menyangkut negosiasi dengan vendor.

    Aku seorang ibu dari tiga anak. Semua anakku punya prestasi akademis yang bisa dibanggakan. Suamiku tak ubahnya anugerah besar dari Allah. Ia sangat istimewa, begitu juga dengan anggota keluargaku yang lain. Aku bersyukur ke hadirat Allah karena diberi kehidupan yang dinamis.”

    Saya bertanya, “Kapan terakhir kali Anda mengambil cuti untuk istirahat dari kerja?” Ia bilang, “Sudah lama aku tidak mengambil cuti karena aku sibuk di tempat kerja, di rumah, kehidupan sosial, dan menghadiri undangan, bai formal maupun informal.”

    Dari perbincangan itu saya menangkap isyarat bahwa kegiatan dan tanggung jawab yang tak berkesudahan telah membuat seseorang merasa remuk redam. Selanjutnya menyebabkan kondisi semangatnya melemah. Pada gilirannya, menyebabkan penolakan internal terhadap tugas-tugas tak berkesudahan itu. Itulah yang oleh para pakar disebut “refleksi psikologis”. Dengan demikian, pikiran negatif singgah dalam otak seseorang dan menghantarkannya pada kondisi kehilangan semangat dalam hidup ini.


Faktor-faktor Penyebab Berpikir Negatif_7

Konsentrasi yang negatif

Seseorang berkata pada saya, “Aku telah kehilangan segala-galanya.” Saya katakan kepadanya, “Aku turut berduka atas kepergian istrimu.” Mendengar saya berkata demikian, ia tercengang dan bekata, “Siapa yang bilang istriku meninggal dunia? Istriku masih hidup dan alhamdulillah sehat.”

    “Kalau begitu, aku turut prihatin karena kanker menggerogoti tubuhmu, “kata saya.

    “Aku tidak sakit, Doktor,” kilahnya.

    Aku bertanya, “Bagaimana keadaan anakmu yang paling besar? Apakah ia masih mengonsumsi narkoba?” Dengan marah orang itu berkata,” Jangan sembarangan berkata begitu, Doktor. Anakku sama sekali tidak pernah menyentuh narkoba. Dia pemuda yang patuh pada agama dan berprestasi.”

    Saya katakan lagi, “Lantas apakah Anda sudah menemukan putri yang paling besar? Atau ia masih lari dari rumah?”

“Doktor, sepertinya yang Anda maksud adalah orang lain,” katanya. “Sebab putriku tidak pernah lari dari rumah. Justru sebaliknya, ia sangat bahagia dan taat beragama dan sebentar lagi ia akan menikah.”

Saya katakan lagi, “Apakah Anda dijatuhi hukuman penjara? Atau, Anda sudah berhasil menyelesaikan permasalahan itu?”

Ia menatapku dalam-dalam dan berkata, “Doktor Ibrahim, aku sangat menghormati Anda. Ucapan Anda tidak wajar. Apa yang Anda ucapkan tidak pernah terjadi padaku atau keluargaku. Aku jadi penasaran, mengapa Anda berkata seperti itu?”

Saya katakan padanya, “Mari kita ulangi sekali lagi apa yang Anda utarakan kepadaku. Menurut Anda, istrimu masih hidup dan sehat, anakmu patuh pada agama dan berprestasi, putrimu juga demikian, bahkan sebentar lagi akan menikah. Semua anak-anak Anda baik-baik saja. Bukankah begitu?”

“Ya, alhamdulillah,” jawabnya.

Saya bertanya, “Lantas, Anda kehilangan pekerjaanku.”

“Apakah itu berarti Anda kehilangan segala-galanya?” tanya saya dengan nada tinggi.

“Tidak,” jawabnya. “InsyaAllah aku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.”

Ini contoh pikiran negatif yang menyebabkan konsentrasi yang negatif. Pada gilirannya, pikiran ini akan membuat seseorang memusatkan perhatian pada rintangan dan melupakan hal-hal positif yang ada dalam hidupnya. Ketika konsentras itu dilakukan berkali-kali maka akan menjadi keyakinan yang melahirkan masalah yang tak berujung.

Saya akan menceritakan kisah lain tentang konsentrasi negatif yang bersumber dari pikiran negatif. Ketika saya berhasil meraih cita-cita menjadi juara tenis meja di Mesir ke kejuaraan tingkat dunia di Jerman. Alhamdulillah, saya terpilih. Saya sangat senang. Tetapi, ketika kembali ke Mesir, saya mengalami sesuatu yang lain. Saya percaya tidak satu pun pemain Mesir dapat mengalahkan saya. Karena itu, latihan saya berkurang. Selain itu, saya juga tidak mengindahkan pelajaran di sekolah. Karena itu saya menghadapi pelajaran yang sama sekali tidak kuduga. Saya kalah di ajang kejuaraan Sporting Club terbuka, klub olahraga yang saya wakili dan berlatih di situ. Di sisi lain, saya juga gagal di ujian akhir tingkat menengah. Saya shock berat hingga tidak mau menemui siapa pun. Saya hanya mengurung diri di kamar dan kehilangan rasa percaya diri.

Suatu hari, ayah masuk ke kamar saya. Ia bilang, “Dalam olahraga pasti ada menang dan kalah. Begitu pula dalam hidup ini. Apa yang terjadi padamu tidak terlalu penting. Yang terpenting adalah apa yang akan kamu lakukan menghadapi apa yang akan terjadi denganmu. Jika begini caramu menyikapi kekalahan, sejak hari ini pula aku tidak akan mengizinkanmu bermain tenis meja.” Kata-kata ayah seperti air es pada hari yang panas. Saat itu juga konsentrasi saya berubah. Dengan tenang saya mulai berpikir. Ternyata hadiah yang diberikan Allah kepada saya adalah kesadaran baru yang membuat konsentrasi saya terhindar dari tipu daya dan membuat saya memerhatikan pelajaran sekolah lagi. Maka, saya memutuskan untuk rajin belajar dan berlatih seperti dulu.

Pada ajang kejuaraan terbuka tingkat nasional, saya berhasil menggondol juara pertama. Saya juga lulus menghadapi ujian akhir. Inilah contoh tentang kekuatan pikiran yang melahirkan konsentrasi negatif dan yang tidak dapat Anda ubah kecuali dengan mengubah penyebab utamanya, yaitu pikiran negatif.



Faktor-faktor Penyebab Berpikir Negatif_6

Kehidupan masa lalu

Saya pernah bertanya pada salah seorang guru saya, “Apa yang paling memengaruhi hidup Anda?” Jawabannya sungguh mengesankan. Ia bilang, “Aku adalah aku yang sekarang ini dengan segala apa adanya. Segala yang terjadi di masa lalu telah berakhir. Aku tidak menggunakan masa laluku untuk diterima oleh masyarakat.” Saya katakan kepadanya, “Bukankah masa lalu bagian dari kehidupan kita?” Ia bilang, “Ya, tapi sudah berlalu dan saat ini sudah tidak ada lagi. Jika Anda hidup di masa lalu, Anda akan menderita.” Kemudian ia mendekati saya dan berkata, “Sekarang aku ingin bertanya kepada Anda: apakah mobil bisa berjalan dengan bahan bakar bulan kemarin?” Saya jawab, “Tentu tidak. Mobil dapat berjalan dengan bahan bakar yang Anda isikan hari ini.” Selanjutnya ia bertanya lagi, “Apakah pesawat bisa terbang dengan bahan bakar bulan kemarin?”

    Saya jawab tegas, “Tidak, karena sudah habis.” Ia berkata, “Semua itu sama dengan masa lalu manusia. Masa lalu hanya meninggalkan pengalaman, keahlian, ilmu, dan keterampilan. Namun, banyak orang hidup di masa lalu meski dengan pengalamannya yang negatif. Sekarang ia tetap menanggung kesedihan, padahal peristiwa menyedihkan itu terjadi di masa lalu. Jika pengalaman masa lalu itu bersifat positif dan membahagiakan, lalu seseorang membanding-bandingkannya dengan kondisi dirinya di masa kini, ia akan merasa sedih.” Ia menatap mata saya dan berkata, “Ibrahim, manusia tidak dapat hidup di masa lalu. Tetapi pikiran dan perasaannya dapat dibawa ke sana. Jika itu dilakukan, ia akan merasakan apa yang dirasakan di masa lalu. Jika yang ia rasakan pengalaman negatif maka semakin menumpuk dan menguat menggerogotinya. Karena itu, jika Anda benar-benar ingin bahagia, jadilah diri Anda saat ini.”

    Ucapan guru saya sangat filosofis. Saat itu memang saya tidak paham betul, tapi saya tidak melupakannya. Kata-kata itu saya tulis dalam buku harian, lalu saya biarkan tergeletak di tempatnya selama tiga tahun. Ketika membacanya kembali, saya takjub pada kekuatan informasi yang dikandungnya. Saya menjadi semakin berhati-hati dalam menyikapi masa lalu. Saya ingat pepatah mengatakan, “Seorang guru akan datang ketika murid-muridnya siap.

    Sekarang saya ingin bertanya pada Anda: pernahkah Anda memikirkan masa lalu yang kelam hingga merasakannya seperti dulu?

    Sebenarnya kita pernah melakukan itu. Sebagian besar maslah yang dihadapi manusia bersumber pada masa lalu dan masa depan. Keduanya tidak berwujud. Masa lalu sudah berakhir. Jika dapat memetik pelajaran dari masa lalu, Anda akan pandai menyikapi kehidupan. Jika tidak, Anda akan terpenjara oleh perasaan negatif yang ada dalam ingatan. Jika Anda putuskan untuk hidup di masa yang akan datang, Anda pun akan terpenjara oleh keraguan dan kebimbangan.

Saya ingin bertanya kepada Anda:
Maukah Anda menumpang taksi yang sopirnya melihat ke belakang? Tentu tidak. Mengapa? Sebab akan menabrak apa pun yang ada di depannya. Begitulah gambaran orang yang hidup di bawah bayang-bayang masa lalu. Ia akan membentur perasaan-perasaan negatif. Hari-hari hidupnya akan sia-sia ditelan fatamorgana pikiran.

    Betapa banyak surat yang saya terima setiap hari tentang pikiran negatif yang disebabkan pengalaman di masa lalu. Seorang gadis berusia dua puluh menulis surat kepada saya. Ia mengaku ketika berusia lima belas tahun pernah mimpi buruk. Karena sangat takut, ia teriak histeris. Namun, tak seorang pun yang langsung datang saat itu untuk melihat apa yang terjadi padanya. Semua orang sudah lelap dibuai mimpi masing-masing. Setelah teriak setengah jam, sang ibu datang tergopoh-gopoh dan menemuinya jatuh pingsan. Tanpa mengulur waktu, ia langsung dilarikan ke rumah sakit. Di sana ia diberi bantuan. Sejak saat itu ia menjadi takut pada tidur karena khawatir peristiwa buruk itu terulang kembali.

    Ini contoh sederhana tentang kehidupan di bawah bayang-bayang masa lalu yang membuat seseorang selalu berpikir negatif dan didukung oleh perasaan negatif.



Jumat, 28 Juni 2013

Faktor-faktor Penyebab Berpikir Negatif_5

Kehidupan masa lalu

Saya pernah bertanya pada salah seorang guru saya, “Apa yang paling memengaruhi hidup Anda?” Jawabannya sungguh mengesankan. Ia bilang, “Aku adalah aku yang sekarang ini dengan segala apa adanya. Segala yang terjadi di masa lalu telah berakhir. Aku tidak menggunakan masa laluku untuk diterima oleh masyarakat.” Saya katakan kepadanya, “Bukankah masa lalu bagian dari kehidupan kita?” Ia bilang, “Ya, tapi sudah berlalu dan saat ini sudah tidak ada lagi. Jika Anda hidup di masa lalu, Anda akan menderita.” Kemudian ia mendekati saya dan berkata, “Sekarang aku ingin bertanya kepada Anda: apakah mobil bisa berjalan dengan bahan bakar bulan kemarin?” Saya jawab, “Tentu tidak. Mobil dapat berjalan dengan bahan bakar yang Anda isikan hari ini.” Selanjutnya ia bertanya lagi, “Apakah pesawat bisa terbang dengan bahan bakar bulan kemarin?”

    Saya jawab tegas, “Tidak, karena sudah habis.” Ia berkata, “Semua itu sama dengan masa lalu manusia. Masa lalu hanya meninggalkan pengalaman, keahlian, ilmu, dan keterampilan. Namun, banyak orang hidup di masa lalu meski dengan pengalamannya yang negatif. Sekarang ia tetap menanggung kesedihan, padahal peristiwa menyedihkan itu terjadi di masa lalu. Jika pengalaman masa lalu itu bersifat positif dan membahagiakan, lalu seseorang membanding-bandingkannya dengan kondisi dirinya di masa kini, ia akan merasa sedih.” Ia menatap mata saya dan berkata, “Ibrahim, manusia tidak dapat hidup di masa lalu. Tetapi pikiran dan perasaannya dapat dibawa ke sana. Jika itu dilakukan, ia akan merasakan apa yang dirasakan di masa lalu. Jika yang ia rasakan pengalaman negatif maka semakin menumpuk dan menguat menggerogotinya. Karena itu, jika Anda benar-benar ingin bahagia, jadilah diri Anda saat ini.”

    Ucapan guru saya sangat filosofis. Saat itu memang saya tidak paham betul, tapi saya tidak melupakannya. Kata-kata itu saya tulis dalam buku harian, lalu saya biarkan tergeletak di tempatnya selama tiga tahun. Ketika membacanya kembali, saya takjub pada kekuatan informasi yang dikandungnya. Saya menjadi semakin berhati-hati dalam menyikapi masa lalu. Saya ingat pepatah mengatakan, “Seorang guru akan datang ketika murid-muridnya siap.”

    Sekarang saya ingin bertanya pada Anda: pernahkah Anda memikirkan masa lalu yang kelam hingga merasakannya seperti dulu?

    Sebenarnya kita pernah melakukan itu. Sebagian besar maslah yang dihadapi manusia bersumber pada masa lalu dan masa depan. Keduanya tidak berwujud. Masa lalu sudah berakhir. Jika dapat memetik pelajaran dari masa lalu, Anda akan pandai menyikapi kehidupan. Jika tidak, Anda akan terpenjara oleh perasaan negatif yang ada dalam ingatan. Jika Anda putuskan untuk hidup di masa yang akan datang, Anda pun akan terpenjara oleh keraguan dan kebimbangan.

Saya ingin bertanya kepada Anda:
Maukah Anda menumpang taksi yang sopirnya melihat ke belakang? Tentu tidak. Mengapa? Sebab akan menabrak apa pun yang ada di depannya. Begitulah gambaran orang yang hidup di bawah bayang-bayang masa lalu. Ia akan membentur perasaan-perasaan negatif. Hari-hari hidupnya akan sia-sia ditelan fatamorgana pikiran.

    Betapa banyak surat yang saya terima setiap hari tentang pikiran negatif yang disebabkan pengalaman di masa lalu. Seorang gadis berusia dua puluh menulis surat kepada saya. Ia mengaku ketika berusia lima belas tahun pernah mimpi buruk. Karena sangat takut, ia teriak histeris. Namun, tak seorang pun yang langsung datang saat itu untuk melihat apa yang terjadi padanya. Semua orang sudah lelap dibuai mimpi masing-masing. Setelah teriak setengah jam, sang ibu datang tergopoh-gopoh dan menemuinya jatuh pingsan. Tanpa mengulur waktu, ia langsung dilarikan ke rumah sakit. Di sana ia diberi bantuan. Sejak saat itu ia menjadi takut pada tidur karena khawatir peristiwa buruk itu terulang kembali.

    Ini contoh sederhana tentang kehidupan di bawah bayang-bayang masa lalu yang membuat seseorang selalu berpikir negatif dan didukung oleh perasaan negatif.



Faktor-faktor Penyebab Berpikir Negatif_4

Pengaruh Internal

Tentangan terbesar dalam hidup manusia adalah diriya sendiri. Tantangan ini tidak datang dari luar, tapi bersumber dari dalam diri. Tantangan yang paling berbahaya adalah kemampuan menerima diri sendiri apa adanya. Inilah faktor utama yang menyebabkan penderitaan yang dirasakan manusia.

    Izinkan saya menceritakan kepada Anda kisah gadis belia berusia lima tahun yang bernama Sandra:
Seorang karyawan datang menemui saya di Montreal. Ia meminta saya untuk datang ke rumahnya karena ada masalah dengan putrinya. Kami pun bertemu dan ia berkata kepada saya, “Doktor, musibah yang menimpaku teramat berat. Putriku menderita penyakit minder. Ia merasa hidungnya terlalu besar. Hal ini ia alami sejak tiga tahun silam. Selama itu pula sudah dilakukan beberapa kali operasi pada hidungnya, tapi tidak membuahkan hasil. Sandra belum bisa menerima keadaan dirinya. Akibatnya, ia menghindar bertemu orang lain. Yang lebih menyedihkan, bangku sekolah pun ia tinggalkan. Mungkin karena shock akibat terlalu sedih, ia sempat dilarikan ke rumah sakit jiwa sebanyak lima kali. Sekarang aku ikut menderita karena keadaannya. Terus terang kami tidak tahu lagi apa yang harus kami perbuat.”

Saya lantas meminta untuk bertemu Sandra. Sesuai waktu yang sudah disepakati, gadis belia itu datang menemui saya. Saya lihat ia sangat cantik. Hidungnya biasa-biasa saja. Tiba-tiba ia bertanya kepada saya, ”Doktor, apakah Anda sepakat denganku bahwa hidungku sangat besar?”

Saya tidak langsung menjawabnya. Saya masih ingin mengenalnya lebih jauh dan ingin menciptakan suasana yang nyaman. Saya ingin menggali alasan ia tidak bisa menerima keadaan dirinya. Dari perbincangan itu saya baru tahu penyebab utamanya adalah sesuatu yang oleh para pakar disebut “menerima diri sendiri”. Jika penyakit ini menyerang jiwa seseorang, ia tidak bisa menerima keadaan diri dan kehidupannya. Bahkan bisa membuatnya berpikir bunuh diri untuk mengakhiri penderitaannya. Ketika seseorang tidak bisa menerima keadaan dirinya, pada saat yang sama ia tidak dapat menghargai dirinya, kemampuannya, apalagi menghormati dirinya. Ia akan membenci dirinya sendiri. Karena terlalu benci, ia tidak mau bercermin.

Untuk kasus Sandra, kita harus melakukan sesuatu bersama-sama agar ia merasa nyaman dan mau menerima keadaan dirinya apa adanya. Dengan demikian, ia dapat tumbuh dan berkembang dalam hidupnya secara normal. Berkat pertolongan Allah, enam bulan kemudian Sandra pulih pada kondisi normal. Ia bisa menerima keadaan dirinya apa adanya.

Sekarang saya ingin bertanya kepada Anda: apakah Anda menerima kondisi diri Anda apa adanya? Adakah sesuatu dalam diri Anda yang tidak Anda sukai? Apakah Anda menghargai diri dan kemampuan Anda? Apakah Anda merasa lebih rendah dibanding orang lain? Apakah Anda mencintai diri apa adanya? Apakah Anda mengharuskan beberapa syarat untuk itu?

Jawaban Anda atas pertanyaan-pertanyaan sederhana ini akan memberikan gambaran tentang penerimaan diri sendiri. Jawaban Anda juga memberikan gambaran bagaimana ia memengaruhi sikap Anda terhadap diri sendiri serta penghargaan Anda terhadap diri sendiri dan kemampuan Anda.

Menurut saya, orang yang paling menderita adalah orang yang tidak bisa menerima keadaan diri sendiri. Sikap ini akan melahirkan serangkaian masalah yang tiada berujung. Semua masalah itu ada dalam diri sendiri. Jika itu terjadi, seseorang akan berpikir negatif tentang dirinya. Jika dibiarkan, lambat laun ia akan menderita gangguan kejiwaan dan penyakit fisik. Karena itu Allah berfirman, Sesungguhnya Allah tidak mengubah kondisi suatu kaum hingga mereka mengubah kondisi yang ada pada diri mereka sendiri (al-Ra’d: 11).

Citra diri, menghargai diri sendiri, menerima diri sendiri, mencintai diri sendiri, menghormati diri sendiri, percaya diri, kesadaran diri, dan nilai-nilai luhur yang dipegang teguh oleh diri sendiri, semua itu ada di dalam jiwa manusia, di dalam file-file akalnya dan tersimpan kuat di dalam akal bawah sadar. Penyebab utama penderitaan seseorang adalah dirinya sendiri yang terjadi berkali-kali, kemudian diikat oleh perasaan hingga menjadi keyakinan. Setelah itu, keyakinan itu diulang kembali oleh perasaan hingga menjadi kebiasaan yang dibawa sepanjang hidup.

Karena itu, menurut hemat kami, di antara penyebab pikiran negatif adalah pengaruh internal yang membuat seseorang menghancurkan kehidupannya sendiri.

Pengaruh eksternal

Di Peking, Cina, seorang guru perempuan berdiri memberi sambutan pada acara tutup tahun pelajaran. Dalam kesempatan tersebut ia mengusung tema “mencuri mimpi”. Ia berkata, “Itulah yang menyebabkan hilangnya mimpi-mimpi indah sebagian besar murid karena pandangan saya yang negatif terhadap cita-cita kalian.” Pada kesempatan itu ia meminta maaf pada semua murid atas sikapnya itu. Setelah berkata demikian, ia meminta komentar orang yang hadir. Seorang pemuda berusia 29 tahun berkata, “Ketika menjadi murid di sekolah ini, seorang guru memintaku menuliskan cita-cita dalam hidup ini. Saat itu yang aku tulis, ‘aku bercita-cita ingin jadi atlet karate nomor satu di dunia’. Guru itu datang menemuiku. Ia bilang cita-citaku omong kosong. Menurutnya, kendati sampai keluar dari Cina untuk mengejar cita-cita itu, aku tidak akan pernah bisa menggapainya. Setelah itu, ia memintaku menuliskan cita-cita yang lain. Aku benar-benar dibuat tidak bisa tidur karenanya. Selama satu bulan lebih aku sangat frustrasi. Tetapi, aku bersikeras untuk tetap pergi dan bekerja sebagai pencuci piring di sebuah restoran di Texas. Karena mereka memecatku, aku pun memutuskan untuk belajar atau mengikuti latihan karate. Tantangannya begitu keras. Tetapi, aku berhasil menggapai impianku. Namaku Bruce Lee.” Usai berkata demikian, orang itu menatap sang guru dan berkata, “Aku memaafkan Anda dan berterima kasih atas pernyataan Anda tadi agar Anda tidak menjadi pengaruh negatif bagi remaja.” Sambil tertawa ia berkata lagi, “Agar Anda tidak menjadi ‘pencuri mimpi’.”

    Sewaktu kecil, saya bercita-cita menjadi pahlawan bagi Mesir di bidang tenis meja. Ketika hal itu saya sampaikan kepada seseorang yang saya hormati, ia tertawa. Ia juga berkata bahwa saya tidak akan pernah bisa mewujudkannya. Sebab, menurut dia ada lebih dari dua ratus pemain tenis meja yang jauh lebih tangguh dari saya. Terus terang, saya merasa gagal karena sebenarnya saya berharap mendapatkan motivasi darinya. Peristiwa tersebut berpengaruh kuat pada saya. Berkali-kali saya introspeksi dan berkatadalam hati, “Benarkah saya dapat menjadi seorag juara? Apa yang membedakan saya dari para pemain yang lain?”

    Malam itu saya tidak dapat tidur lelap. Ucapan orang yang saya hormati itu telah merampas impian saya. Beruntung saya segera menemui seorang yang bernama Muhammad al-Hadîdî. Terima kasih saya ucapkan kepadanya yang telah memompa semangat dan melatih saya. Tidak sampai satu tahun, saya menjadi juara di Mesir. Muhammad al-Hadîdî menjadi pengaruh positif yang membantu saya mewujudkan mimpi-mimpi.

    Peristiwa itu membuat saya banyak berpikir. Pengaruh pertama hampir saja membuat saya meninggalkan impian, sedangkan pengaruh kedua mewujudkan mimpi indah saya. Keduanya sama-sama pengaruh dari luar, sama-sama memengaruhi saya dan menggerakkan saya seperti yang diinginkan. Saya tahu bahwa pengaruh eksternal yang datang dari kerabat, teman, dan media informasi bisa begitu kuat memengaruhi kita, menggerakkan perasaan kita, lalu merampas impian kita. Ia sangat mungkin membuat kita frustrasi dan berpikir negatif.

    Masih segar dalam ingatan saya tentang hal serupa yang pernah saya alami saat mengambil keputusan untuk masuk sekolah perhotelan. Pengaruh eksternal begitu kuat, termasuk ledekan dan hinaan. Saya hampir mundur. Alhamdulillah, akhirnya saya berhasil merampungkan segala tugas dan mendapatkan hasil lebih baik dari yang dibayangkan.

    Hal serupa juga terjadi ketika saya memutuskan untuk pendah ke Kanada. Seorang kawan mengatakan bahwa hidung saya akan copot karena kedinginan. Tetapi, saya tetap bersikeras untuk berdomisili di Kanada. Ternyata hidung saya tidak copot, malah semakin mancung.

    Saya bertanya kepada Anda: pernahkah Anda mengalami hal seperti itu? Maksudnya pernahkan seseorang memengaruhi Anda untuk meninggalkan mimpi yang ingin Anda wujudkan? Pernahkah seseorang memengaruhi Anda untuk melakukan sesuatu yang tidak anda inginkan?

    Pengaruh eksternal sering kali menjadi penyebab utama tergadainya mimpi indah kita. Selain itu, pengaruh eksternal menyebabkan lahirnya pikiran negatif yang melahirkan berbagai penyakit, baik kejiwaan atau fisik. Sangat mungkin Anda akan dipengaruhi oleh seorang perokok seperti dia, menjadi penenggak minuman keras, menelantarkan cita-cita Anda, atau meninggalkan istri Anda. Banyak kisah yang menuturkan bahwa seseorang menjadi penyulut persoalan dalam rumah tangga, penyebab kegagalan proyek, dan sebagainya. Karena itu, waspadalah karena  pengaruh eksternal dapat menjadi pemicu pikiran negatif.



Kamis, 27 Juni 2013

Faktor-faktor Penyebab Berpikir Negatif_3

Rutinitas yang negatif

Pernahkah Anda mendengar seseorang yang mengeluhkan rutinitas hidupnya? Pernahkah Anda sendiri merasa rutinitas Anda tidak menyenangkan?

    Mencari posisi aman agar tetap bertahan hidup adalah tabiat manusia. Karena itu, ia memetakan wilayah yang oleh psikolog terkemuka, Dr. Carl Jung, disebut “zona aman dan tenang”. Di wilayah inilah seseorang merasa aman. Wilayah ini terdiri dari tiga unsur utama: tempat tinggal, pekerjaan, dan orang yang hidup bersamanya.

    Dalam hal ini Albert Einstein pernah berkata, “Seseorang merasa aman ketika mendapatkan tempat tinggal, pekerjaan, dan orang-orang yang ia cintai hidup bersamanya.” Ungkapan bijak dari filsafat India Kuno mengatakan, “Jika Anda mendapatkan rumah sebagai tempat tinggal, Anda beruntung. Jika Anda mendapatkan sesuatu yang bisa menopang hidup, Anda cerdik. Jika Anda mendapatkan orang-orang yang bisa hidup bersama dengan saling berbagi cinta, Anda bahagia. Jika Anda memiliki semua itu, berarti Anda orang yang paling kaya.”

    Semua orang hidup dalam rutinitas tertentu dan dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan pekerjaan tertentu. Ketika terjadi perubahan hidup, kita merasa kehilangan rasa aman dan tidak tenang. Karena itu, setiap orang berusaha keras untuk memiliki “zona aman” yang menjamin kelangsungan hidupnya. Namun, zona aman tersebut bisa berubah menjadi rutinitas negatif yang bisa-bisa mengganggu stabilitas kejiwaan.

    Rutinitas negatif yang dimaksud adalah melakukan hal yang sama dengan cara yang sama sepanjang waktu tanpa perubahan. Contoh: bangun tidur, minum kopi, sarapan, lalu berangkat kerja. Aktivitas ini selalu dilakukan setiap hari. Begitu pula setelah pulang dari kerja, ia melakukan hal yang sama. Begitulah ia berkutat dengan rutinitas tersebut hingga hidupnya terasa tak bermakna.

    Sesuatu yang paling membahagiakan adalah jika seseorang merasa berhasil, berkembang, dan lebih maju. Sekitar lima puluh hotel bintang lima yang berdiri megah di Montreal, Kanada, melakukan penelitian tentang kebutuhan manusia. Hal itu dilakukan untuk mendongkrak animo masyarakat agar berkenan singgah di hotel itu. Penelitian tersebut menghasilkan urutan kebutuhan manusia sebagai berikut: kelangsungan hidup, jaminan material, afiliasi, kebebasan, cinta, penghargaan, pencapaian, perubahan dan bermakna.” Ternyata, pencapaian berada pada urutan keenam dari yang dibutuhkan manusia. Pernyataan yang dilontarkan para ahli tentang penelitian ini: tanpa pencapaian, seseorang tidak akan pernah merasa hidupnya bermakna. Hal itulah yang menyebabkan karyawan berhenti sehingga menimbulkan kerugian di pihak pengelola hotel.

    Secara psikologis, tidak adanya prestasi menyebabkan maraknya kasus bunuh diri, terutama di kalangan anak muda yang merasa frustrasi dan kesepian. Karena tidak mendapatkan jalan keluar dari persoalan yang dihadapi, akhirnya mereka bunuh diri.

    Orang yang hidup dalam rutinitas negatif akan kehilangan perhatian terhadap pekerjaannya dan segala sesuatu di sekitarnya. Selain itu, apa pun perubahan yang terjadi, baginya terasa hambar. Tak pelak, ia menganggung kesedihan.

    Dalam suatu kesempatan, seorang karyawan menemui saya. Ia berkata, “Dr. Ibrahim, berkat karunia Allah aku ini sukses, baik secara finansial, pekerjaan, maupun keluarga. Tetapi aku tidak merasa bahagia. Aku ingin Anda membantuku.” Untuk itu, saya menanyakan pola hidupnya. Ia bilang, “Rutinitas yang menjemukan. Sejak sepuluh tahun yang lalu, yang aku kerjakan selalu sama.” Saya tanya, “Mengapa Anda tidak membuat perubahan positif yang membuat bahagia?” Ia menjawab, “Sudah kucoba, tapi aku takut gagal.”

    Inilah contoh sederhana dari rutinitas negatif yang tumbuh dari pikiran negatif.



Faktor-faktor Penyebab Berpikir Negatif_2

Program terdahulu

Pernakah Anda mendengar cerita: ada orang yang hendak mengendarai mobilnya. Semua sudah dilakukan seperti biasanya, tapi mobil tetap tidak bergerak dari tempatnya. Ia injak pedal gas lebih dalam, dan mobil tetap tidak bergerak. Apa yang terjadi? Ternyata rem tangan tetap dalam kondisi terkunci.

    Program terdahulu yang negatif sama halnya dengan rem tangan pada mobil dalam kisah di atas. Setiap kali Anda berusaha untuk bergerak maju, ia akan menyeret Anda ke belakang atau diam di tempat. Kita pernah membahas bahwa manusia diprogram oleh dunia luar dirinya. Yang paling penting untuk Anda ketahui adalah tujuh tahun pertama dari kehidupan Anda  membentuk lebih dari 90% nilai yang kita yakini. Nilai-nilai itu kita dapatkan dari orang tua, kerabat, masyarakat, sekolah, teman, dan lain-lain. Jika program yang kita terima pada usia tujuh tahun pertama ini negatif maka akan memengaruhi seluruh dimensi kehidupan kita.

    Contoh: salah satu program yang mungkin ada pada seseorang adalah tidak perlu usaha mengubah keadaan. Sebab, usaha itu akan sia-sia. Maka, kita akan menemukan orang itu akan menolak semua gagasan perubahan agar ia tidak merasakan kegagalan.

    Jika seseorang diprogram menggunakan cara-cara kasar dan membentak-bentak dalam berinteraksi dengan orang lain, Anda akan mendapatkan hal itu ketika ia berinteraksi. Saya sering berjumpa orang yang mengeluhkan masa lalunya karena dinilai telah menghancurkan hidupnya. Contoh: seorang perempuan berusia empat puluh datang menemui saya di Montreal. Menghadapi kondisi yang tidak diinginkan, ia menangis seperti anak kehilangan ibunya. Saya bertanya tentang sesuatu yang membuatnya seperti itu. Ia bilang, “Ibuku memukuli aku dengan keras saat aku berusia empat tahun. Peristiwa itu membuat aku takut kepadanya. Aku pun selalu menghindarinya agar ia tidak memukul lagi. Setelah dewasa, aku selalu menghindar dari siapa pun yang usianya lebih tua dariku. Seiring berjalannya waktu, aku malah menghindar dari siapa saja kendati ia lebih muda dariku. Keadaan seperti ini berlangsung sepanjang hidupku. Dampaknya, aku tidak mau menikah. Sekarang aku benar-benar hidup sendirian. Aku merasa tak berharga. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan.” Inilah contoh dari program masa lalu yang melahirkan pikiran negatif dan masalah psikologis.

    Contoh lain: ketika saya mengisi seminar tentang “Kekuatan Mengendalikan Diri” di Texas, Amerika Serikat, seorang ibu datang menemui saya. Ia mengeluhkan putri semata wayangnya yang menderita anoreksia nervosa, satu penyakit yang membuat seseorang menilai dirinya kegemukan kendati ia terbilang langsing. Akibatnya ia takut makan, jika menghadapi makanan, ia menutup mulut dengan tangan atau menggerakkan perutnya untuk mengeluarkan kembali makanan itu karena dianggap akan menjadikannya semakin gemuk. Saat saya melihat gadis itu, ia seperti mumi. Berat badannya mungkin tidak sampai empat puluh kilogram. Kondisinya lemah, tulang-tulang di sekujur tubuhnya tampak menonjol. Saya tanyakan, “Sejak kapan engkau merasakan kondisi seperti ini? Ia bilang, “Sejak empat tahun silam. Saat berusia enam belas tahun, aku berkunjung ke rumah seorang temanku. Kebetulan ibu temanku punya perhatian terhadap masalah pengaturan pola makan. Ia bilang aku kegemukan. Karena itu, aku harus diet ketat agat tidak kegemukan dan sulit bergerak. Ia bilang kepadaku bahwa perempuan gemuk tidak akan disunting oleh laki-laki manapun. Aku bisa hidup sebatang kara. Sejak hari itu, aku benar-benar mengurangi porsi makan. Kata-kata ibu temanku itu selalu terngiang di telingaku. Seiring bergulirnya waktu, aku jatuh sakit. Tiga kali aku dirawat di rumah sakit karena kondisi tubuhku sangat lemah.” Setelah berkata demikian gadis itu mengeluarkan album. Ia memperlihatkan foto-foto dirinya sebelum menderita penyakit itu. Sebenarnya ia gadis cantik yang punya kesehatan prima. Namun, proses pembentukan pikiran yang ia alami pada masa lalu telah membentuk pikiran negatif yang hampir membinasakannya.

    Inilah contoh lain dari kekuatan program di masa lalu yang menjadi penyebab terkuat terbentuknya pikiran negatif pada seseorang.

Tidak ada tujuan yang jelas
Menurut saya ada lima jenis manusia:

Pertama, orang yang tidak tahu apa yang diinginkan.
    Orang seperti ini hidup bagaikan daun yang ditiup oleh angin dan bergerak ke arah yang tidak menentu. Mereka tidak tahu apa yang diinginkan dalam hidup ini. Anda akan menemukan mereka selalu berkeluh kesah bahwa hidup ini susah dan tidak ada peluang. Dalam pandangannya, sebagian besar orang kaya adalah penipu. Baginya, nasib adalah satu-satunya faktor yang menentukan kondisi finansial, kejiwaan, dan kesehatan.

    Orang seperti ini tidak berbuat apa-apa untuk hidup lebih baik. Ia tidak mau membaca serta tidak mengembangkan keahlian dan keterampilannya. Bahkan, ia tidak melakukan hal positif apa pun untuk menjaga kesehatannya. Kata-kata yang ia ucapkan setiap hari adalah keluh kesah.

    Kedua, orang yang tahu apa yang diinginkan, tapi tidak melakukan apa pun untuk menggapainya.
    Orang seperti ini sebenarnya memiliki pengetahuan yang lengkap tentang tujuan hidupnya. Tetapi ia tidak mengambil langkah positif apa pun untuk mewujudkannya. Secara psikologis orang seperti ini lebih menderita dibandingkan dengan orang yang pertama. Sebab, orang pertama tidak mengenal tujuan hidupnya, sedangkan orang kedua tahu apa yang diinginkan, tapi tidak berbuat apa-apa untuk meraihnya. Anda akan melihatnya selalu membandingkan dirinya dengan orang lain dan sering menyalahkan nasib buruk yang menimpanya. Ucapan sehari-harinya adalah ucapan mencela dan menyalahkan.

    Ketiga, orang yang tahu apa yang diinginkannya dan punya tujuan yang jelas, tapi tidak percaya pada kemampuannya.

    Orang seperti ini tahu apa yang diinginkan, kapan menginginkannya, dan bagaimana mendapatkannya. Tetapi, ia tidak yakin bisa mendapatkannya. Rasa percaya dirinya sangat lemah. Ia takut gagal dan dilecehkan. Orang seperti ini lebih menderita dibandingkan dua jenis orang sebelumnya. Sebab, ia memiliki ilmu dan pengetahuan lebih banyak, tapi tidak memiliki keberanian mengambil langkah positif untuk mewujudkan keinginannya. Karena itu, Anda akan melihatnya sering menjauh dari orang lain. Ia akan menderita gangguan jiwa dan fisik. Ucapannya selalu dipenuhi ungkapan iri hati pada orang-orang yang sukses dan ia selalu mengeluh secara psikologis.

    Keempat, orang yang tahu pasti apa yang diinginkan, tapi ia terpengaruh oleh hal-hal negatif dari luar.
    Orang seperti ini tahu apa yang diinginkannya. Selain itu, ia punya tujuan yang jelas dan langkah konkret. Tetapi, kepribadiannya lemah. Ia gampang dipengaruhi pendapat orang lain. Akibatnya, ia gampang mengubah langkah-langkah yang sudah dirumuskan untuk menggapai impiannya. Anda akan melihat orang seperti ini tidak memaksimalkan kemampuan dan keterampilannya. Ia tidak mengalami kemajuan yang berarti, bahkan hanya sedikit tujuan yang dicapai. Karena itu, ia cenderung emosional, mudah menyalahkan orang lain, dan mudah iri pada orang lain. Ucapan yang selalu menghiasi lisannya selalu negatif dan rasa percaya dirinya lemah. Tetapi, ia selalu peluang bagi orang lain untuk ikut masuk ke dalam kehidupan pribadinya. Ia akan terus merasa tak berdaya.

    Kelima, orang yang tahu apa yang diinginkan dan berusaha keras untuk menggapainya sampai berhasil.
    Orang seperti ini tahu pasti apa yang diinginkan. Untuk itu, ia merumuskan langkah dengan jelas kemudian berusaha keras dan pantang menyerah sampai berhasil. Orang seperti ini tahu pasti “hukum kembali” yang mengatakan, “Apa yang Anda pikirkan dan lakukan akan kembali kepada Anda.” Karena itu, mereka mewujudkan keinginan dan hidup bersama cita-citanya.

    Tidak adanya tujuan yang jelas dalam kehidupan seseorang membuatnya tidak memaksimalkan kemampuan yang dianugerahkan Allah. Jika demikian, hidupnya menjadi sia-sia, dihantui rasa takut, dan cemas menghadapi masa depan. Orang yang tidak memiliki tujuan yang jelas bagaikan berjalan di tengah kegelapan. Hidupnya hambar, kehilangan semangat, kepribadiannya menjadi lemah. Ia akan mudah dipengaruhi hal-hal negatif dan diombang-ambingkan kehidupan.


Faktor-faktor Penyebab Berpikir Negatif

Faktor-faktor Penyebab
Berpikir Negatif




Jauh dari Allah
Kehidupan material, persaingan yang ketat, dan perubahan cepat yang terjadi dalam kehidupan ini membuat banyak orang hanyut terbawa arus hingga menjauh dari Allah.

    Di Montreal saya punya kawan yang bekerja di bidang jual-beli perumahan. Kawan ini berhasil mengumpulkan harta senilai puluhan juta dolar. Kehidupannya berputar pada satu poros, yaitu uang. Ia terlempar sangat jauh dari kehidupan spiritual. Kata-kata yang ia ucapkan setiap hari adalah tentang investasi, pembangunan, dan jual beli. Saya tidak pernah mendengar dia menyebut nama Allah. Suatu hari saya pergi ke luar negeri. Sekitar satu tahun saya tidak berjumpa dengannya. Ketika saya cari tahu keadaannya, ternyata ia menderita serangan jantung yang hampir mengakhiri hidupnya. Beruntung Allah menyelamatkannya.

    Mendengar kabarnya itu, saya datang menjenguknya. Kulihat air matanya menetes. Dengan suara lirih ia berkata, “Wahai Ibrahim, tahukah Anda apa yang menyebabkan aku terbaring di rumah sakit ini?! Aku menginvestasikan seluruh hartaku di sebuah proyek besar. Aku berharap mendapat keuntungan besar, tapi malah menanggung kerugian besar hingga hampir tak memiliki apa-apa lagi. Aku shock berat dan membuat aku menderita seperti ini. Beruntung para dokter di sini bisa diandalkan. Aku menjalani operasi lebih dari 24 jam. Namun, tubuhku sebelah kanan tetap lumpuh.” Saya mendekat dan bertanya, “Pelajaran apa yang bisa Anda petik dari semua peristiwa ini?” Ia menjawab, “Aku harus lebih hati-hati menginvestasikan kekayaanku, terutama dalam memilih orang yang bekerja sama denganku.” Pada saat itu saya katakan, “Dengarkan aku baik-baik dan jangan menyelaku.” Ia pun mengiyakan. Saya katakan padanya, “Ketahuilah bahwa yang memberi semua anugerah ini bukan orang lain, tapi Allah. Meski anugerah itu baik, tapi ia menjadi ujian bagi Anda. Aku tidak pernah mendengar Anda mengucapkan syukur pada Allah atas anugerah yang telah diberikan pada Anda. Karena itu, Dia membuat Anda dalam kondisi seperti ini agar Anda mendekat kembali kepada-Nya. Dialah yang menyelamatkan Anda dari kematian, bukan dokter. Allahlah yang mengatakan pada sesuatu, ‘Jadilah’, maka ia pun jadi. Allah telah menyelamatkan Anda, tapi pikiran Anda selalu tertuju pada urusan duniawi. Anda pikir materi, investasi, ilmu, dan teknologi menjadi jalan keluar atas masalah yang Anda hadapi.” Setelah itu saya pegang tangannya sembari berkata, “Bukankah ini saat yang tepat untuk bersyukur pada Allah? Bukankah ini waktu yang tepat untuk mendekat pada-Nya? Bertawakal dan bertakwalah. Jadikan dia yang utama dalam hidup Anda!” Setelah diam sekian lama, ia berkata kepada saya, “Sepertinya aku benar-benar jauh dari Allah. Tetapi, apakah Anda yakin bahwa peristiwa yang aku alami karena kondisiku yang jauh dari-Nya?”

    Saya tanyakan, “Aku sangat yakin Allah mencintai Anda. Karena itu, Dia membuat Anda dalam kondisi seperti ini untuk membukakan pintu agar Anda mendekat kepada-Nya.” Kawanku menangis. Tidak lama kemudian ia berkata, “Jika aku keluar dari rumah sakit ini, aku akan menjadi manusia yang berbeda. Aku akan semakin mendekat pada Allah.” Saya katakan padanya, “Apakah Anda punya jaminan bisa keluar dari rumah sakit ini? Apakah Anda yakin masih dapat bertahan hidup sekian lama?” Ia menjawab, “Tidak.”

    Saya katakan, “Kalau begitu untuk mendekat kepada Allah, jangan mengulur waktu sampai Anda keluar dari rumah sakit ini. Mulailah dari sekarang mari kita membaca al-Fâtihah dan bersyukur kepada-Nya.” Kami pun membaca surah al-Fâtihah dan bersyukur kepada Allah. Ia berkata kepadaku, “Sudah lama aku tidak merasakan ketenangan seperti ini.” Saya katakan, “Begitulah yang Anda rasakan jika hatimu terpaut pada Allah.”

    Pernahkan Anda mengenal seseorang yang kehidupannya bagaikan mata rantai penderitaan? Keluar dari satu masalah lalu masuk ke masalah lain? Jika jawaban Anda, “Ya,” tahukah Anda penyebab utama hal itu terjadi padanya? Penyebabnya adalah karena ia jauh dari Allah. Seorang mukmin sejati selalu bertawakal, bertakwa, dan bersyukur pada-Nya, baik dalam kondisi lapang maupun sempit. Seorang mukmin sejati tidak pernah berhenti mendekat kepada-Nya. Ambisi utama orang yang jauh dari Allah adalah dunia. Hidupnya sempit dan dipenuhi hal-hal negatif. Allah menjelaskan, Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkan-Nya pada hari kiamat dalam keadaan buta (Thâhâ: 124).