Welcome to The Family

Jumat, 27 Desember 2013

Dampak Berpikir Negatif


Respons Menyerang atau Lari
Sebelum saya menjelaskan respons menyerang atau lari, ada baiknya saya menceritakan peristiwa yang saya alami kira-kira enam bulan lalu:

    Saat baru keluar dari rumah menuju mobil, tiba-tiba saya melihat seekor anjing besar berlari cepat menuju ke arah saya. Saya tak sempat berpikir: dari mana anjing itu datang? Siapa pemiliknya? Mengapa dibiarkan begitu? Bukankah itu melanggar hukum dan pemiliknya bisa dipenjara? Intinya saya tidak sempat berpikir apa pun. Saya serasa terbang dan secara reflek lompat secepat kilat, kemudian masuk ke dalam mobil da menutup pintunya rapat-rapat. Dari dalam saya memandangi anjing itu. Tidak lama kemudian saya melihat seorang perempuan datang tergopoh-gopoh dari sebuah rumah di sekitar tempat itu. Ia berkata, “Jangan takut! Dia itu Micky. Ia datang untuk mengucapkan selamat kepada Anda dan ingin bermain dengan Anda.” Saya marah besar pada perempuan itu karena menyepelekan peristiwa yang saya hadapi. Saya buka kaca jendela dan bertanya, “Boleh aku tahu siapa Anda?” Ia menjawab, “Aku tetangga baru Anda. Dan ini anjingku, Micky namanya. Ia suka bermain dengan orang lain.” Saya hanya tersenyum karena lidah saya sudah kelu, jantung berdetak seperti suara genderang pesta pernikahan, dan tekanan darah saya naik. Saya bekeringat seperti di tengah hari yang panas dan napasku tersendat-sendat. Saya menunggu sampai tetangga itu pulang membawa Micky. Setelah itu, saya kembali masuk ke rumah sampai kondisi normal kembali.

    Penahkah Anda merasakan peristiwa seperti yang saya alami? Mungkin lift yang Anda alami berhenti di tengah-tengah atau pengalaman di pesawat yang mengalami turbulensi? Kondisi inilah yang oleh para pakar disebut keadaan “menyerang atau lari”.

    Ketika seseorang merasa jiwanya terancam bahaya, baik dalam dunia nyata atau dunia imajinasi, maka akal-perasaan yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup melampaui akal-analitik yang bertanggung jawab menganalisis dan memahami peristiwa dengan rasional. Dalam kondisi seperti itu tidak ada yang bisa dipikirkan seseorang selain bertahan hidup. Adrenalinnya akan meningkat dan memberi kekuatan luar biasa pada otot-otot dalam tubuhnya, terutama pada otot kaki dan tangan. Gejala tersebut disertai tekanan darah yang meningkat, detak jantung berpacu cepat, napas terengah-engah, serta konsentrasi dan ukuran mata betambah lebar. Reaksi yang dilakukan untuk melindungi diri adalah menyerang atau lari.

    “Respon menyerang atau lari (fight or flight respose)” disebut juga “kewaspadaan terhadap kelangsungan hidup”. Hal ini terjadi ketika kehidupan seseorang terancam. Yang demikian ini tergolong respons positif yang membantu seseorang tetap dapat bertahan hidup. Contoh: ketika seseorang sedang menikmati kebersamaan dengan keluarganya, tiba-tiba ia melihat seekor ular besar mendekati mereka. Tentu ia akan melakukan apa saja untuk menjauhkan ular yang berbahaya ini. Mungkin ia akan memukul ular itu dengan benda apa saja yang ada, atau membawa mereka pergi. Respons seperti ini wajar dan pasti dilakukan untuk mempertahankan hidup. Namun, di sisi lain, respons menyerang atau lari juga bisa disebabkan oleh pikiran negatif, yaitu ketika seseorang menggunakan kekuatan akal-perasaan, adrenalinnya mengalir deras di otot sekujur tubuh, dan tekanan darahnya meningkat, ketika menyikapi persoalan sehari-hari yang sebenarnya tidak memerlukan respons seperti itu.

Beberapa contoh:
Ketika seseorang punya “penyakit” takut berbicara di depan umum, tiba-tiba pimpinan di tempat kerja menyodorkan produk yang baru dihasilkan untuk dipresentasikan di hadapan direksi dan karyawan. Dalam kondisi seperti ini, ia pasti merasa sangat takut dan bingung. Mungkin di dalam dirinya ada dorongan untuk “lari atau menyerang”. Ia akan menolak tugas tersebut dan memilih keluar dari tempat kerja agar bisa lari menghindari “sumber bahaya”.

    Contoh lain: seseorang terlibat konflik dengan istrinya. Saat itu ia marah besar kemudian ia meledakkan tekanan “menyerang atau lari” yang ada dalam dirinya. Ia mengambil sebilah belati, lalu menikam tubuh sang istri tujuh kali. Ketika kondisi mulai tenang, ia tidak percaya pada apa yang telah dilakukan. Akhirnya ia pun mengakhiri hidupnya sendiri.

    Ini kisah nyata yang disebabkan oleh pikiran negatif yang terus dipelihara hingga meledakkan dorongan “lari atau menyerang” dalam diri. Dorongan ini membuat sikap seseorang seperti menghadapi ancaman sangat berbahaya.

    Di antara persoalan sederhana yang tidak mengancam kehidupan kita, tetapi acap kali meledakkan respons menyerang atau lari adalah:
•    Perbedaan pendapat di antara sami dan istri, atau dengan orang lain.
•    Seseorang tiba-tiba membelokkan mobil di depan Anda.
•    Pimpinan di tempat kerja meminta Anda menghadap.
•    Ketika seorang murid menghadapi ujian.
•    Wawancara dengan pimpinan salah satu perusahaan untuk mendapatkan pekerjaan baru.
•    Semua jenis penyakit takut yang tergolong ringan, seperti takut naik pesawat, takut kertinggian, takut kegelapan, takut pada serangga, takut sendirian, takut kegagalan, takut akan masa depan yang tidak jelas, takut pada keramaian, takut berbicara di depan banyak orang, dan sebagainya.
•    Perasaan waswas yang menyebabkan seseorang mandi berkali-kali sekian lama. Karena rasa waswas ini, seseorang tidak mau mandi atau berwudu. Contohnya banyak sekali dan dapat ditemukan di sekitar Anda atau dalam diri Anda sendiri.

Respons menyerang atau lari  terdiri atas tiga kelompok utama:
Kelompok pertama: sesuatu yang nyata.

    Pada kelompok ini seseorang berada di tempat berbahaya, baik berupa kebakaran, menghadapi binatang buas, tenggelam, kecelakaan, perang, seseorang mengarahkan pistol ke kepalanya, perampok yang mengancam dengan pisau, perkelahian, dan lain sebagainya. Dalam kondisi seperti ini respons menyerang atau lari sangat penting untuk melindungi diri.

Kelompok kedua: sesuatu yang bersifat imajiner.

    Pada kelompok ini seseorang tidak ada bersama sesuatu yang dikategorikan mengancam jiwanya. Ia hanya berpikir dan berkhayal sedang berada dalam situasi terancam. Dalam kondisi seperti ini akal membukakan file-file terkait dengan perlindungan diri. Adrenalin meningkat dan menyebar ke sekujur tubuh. Akal perasaan mulai aktif. Bersama dengan itu, detak jantung bertambah kencang, napas tersengal, tekanan darah naik, dan perubahan-perubahan lain, baik internal atau eksternal, yang mengindikasikan orang tersebut seperti benar-benar menghadapi bahaya. Sigmund Freud adalah ilmuwan pertama yang menegaskan bahwa akal bawah sadar tidak mengenal perbedaan antara sesuatu yang nyata dan imajiner. Maka, dalam dua kondisi ini ia tetap akan membukakan file-file yang korelatif dan menyempurnakan proses berpikir. Salah satu contoh keadaan di mana seseorang menggunakan imajinasinya lalu mengikat dengan perasaannya hingga meledakkan respons “menyerang atau lari” adalah memikirkan pertemuan yang akan datang. Maka, muncullah rasa takut dan meledakkan respons menyerang atau lari. Contoh lain adalah cemas menghadapi ujian, wawancara dengan pimpinan perusahaan atau orang penting, memikirkan kematian, perselisihan dengan salah seorang kawan yang menimbulkan perasaan tidak enak, dan lain sebagainya. Semua itu hanya terjadi di dunia fantasi, tapi bisa meledakkan respons menyerang atau lari seperti benar-benar nyata.

Kelompok ketiga: persepsi.

    Pada kelompok ini seseorang menyadari persoalan sederhana yang dihadapi sehari-hari seolah mengancam hidupnya. Kelompok ini sudah disinggung sebelumnya, seperti perselisihan suami istri, masyarakat, wawancara penting, berbicara di depan umum, ujian, dan lain sebagainya.

    Tiga kelompok tersebut menjadikan akal perasaan bersikap sama, meningkatkan pacuan adrenalin, dan menciptakan perubahan fisiologis. Bayangkan, Allah memberikan kondisi yang     demikian kuat ini agar kita bisa melindungi diri dan mempertahankan hidup. Respons tersebut sama-sama akan bereaksi, baik ketika kita berselisih dengan pasangan hidup atau dengan kawan hingga membuat kita seolah benar-benar menghadapi bahaya.

    Respons lari berhubungan dengan rasa takut, sedangkan respons menyerang berhubungan dengan marah. Keduanya diatarbelakangi oleh pikiran negatif yang membuat seseorang berpikir tidak logis dan meledakkan kekuatan yang ada dalam dirinya. Kekuatan ini melampaui segala khayalan tentang sesuatu yang hanya perlu disikapi dan dipelajari dengan bijak hingga dapat dimanfaatkan untuk kemajuan.

    Mulai saat ini, sadarilah pikiran Anda sebelum bertambah negatif dan menjadikan Anda mengambil respons seolah sedang menghadapi bahaya.